Penerbit :
Diva Press
Tahun Pertama Terbit : Maret 2018
Jumlah Halaman : 244
Penulis :
Mahbub Djunaidi
Penerbit :
Diva Press
Tahun Pertama Terbit :
Maret 2018
Jumlah Halaman : 244
Novel ini terdiri dari 5 bagian cerita, 1 bagian
cerita tentang penulis dan ditutup oleh tulisan Bapak Umar Said tentang
kehidupan sehari-hari sang penulis selama beliau hidup. Novel ini
mengambil latar belakang di awal kemerdekaan Indonesia dalam rentang
waktu 1946 -1954. Novel ini mengambil sudut dari anak Pak Junaidi dimana
merupakan seorang pegawai Jawatan Mahkamah Islam Tinggi.
Berawal dari mata seorang bocah belasan tahun, makna revolusi
mungkin belum dapat dipahami sepenuhnya. Ia juga belum tentu mengerti benar,
mengapa negerinya selalu dilanda peperangan; entah perang melawan bangsa asing,
entah perang sesama bangsa sendiri. Namun, yang jelas, ia tak mampu berbuat
apa-apa dan hanya menurut, ketika ayahnya, Pak Djunaidi, harus hijrah keluar
Jakarta. “Revolusi sudah pecah, ibukota pindah ke Yogya mengenai makna
revolusi, karena ini barang baru, kalian nanti akan paham belakangan. Jawatanku
sendiri pindah ke Solo, kenapa begini, sudah bukan urusan kita. “Begitulah Pak
Djunaidi berpesan kepada seluruh anggota keluarganya. Kemudian esoknya, mereka
pindah; meninggalkan Jakarta dengan kereta api yang akan membawa ke Solo. Dalam
perjalanan, di antara hiruk-pikuk para penumpang, mereka sempat berkenalan
dengan seorang lelaki gemuk yang pekerjaannya menjual ban mobil pada pemerintah
republic yang baru berusia setahun itu. Ternyata, kemudian diketahui bahwa
lelaki gemuk itu adalah seorang Raden Mas. “Siapa nama makhluk ini? Kubaca:
Raden Mas X. astaga, betapa revolusi sudah merubah status seorang bangsawan
menjadi pedagang ban mobil, berdesakan di atas kereta api, tersuruk-suruk ke
kolong kursi, tertawa begitu kerasnya, beramah-tamah dengan hampir setiap
orang” (hlm. 18). Di Solo, keluarga Muhammad Djunaidi tinggal di daerah Kauman
walaupun tempat bekerjanya di Mahkamah Islam Tinggi, kantor induknya berada di
Yogyakarta, ibukota republik Indonesia waktu itu. Anaknya, yang berumur sekitar
13-an tahun itu, mulai masuk sekolah kembali
Selain bersekolah di sana, ia juga
sekolah agama, di samping harus menjalankan kewajiban-kewajiban agama,
sebagaimana yang dianjurkan ayahnya. Tentu saja, kegiatan bermainnya tak
ketinggalan, seperti umumnya anak-anak seusianya. Pecahnya agresi Belanda yang
disusul dengan disepakatinya Perjanjian Renville, ternyata sama sekali tidak
membawa perbaikan pada nasib rakyat. Kekacauan dan terjadinya peperangan akibat
pelanggaran gencatan senjata, masih kerap membuat keadaan makin tidak menentu.
Maka, hilir-mudikya tentara yang memanggul senjata, tentara yang hijrah,
penduduk yang mengungsi atau balik dari pengungsian, ibarat sudah menjadi pemandangan
sehari-hari. Begitu pula ketika tentara Divisi Siliwangi meninggalkan Jawa
Barat dan datang ke daerah sekitar Yogyakarta, rakyat hanya menyambutnya dengan
sorak-sorai atau melambai-lambaikan tangan. Pada saat yang demikian itulah,
keluarga Muhammad Djunaidi kedatangan Sersan Husni, tentara dari Divisi
Siliwangi, yang terpaksa ikut pasukannya meninggalkan Bandung. Sersan Husni
pula yang merawat kakek si bocah di dalam pengungsiannya. Dari Sersan itu pula
diketahui keganasan Westerling serta tentara Indo-Belanda-Turki yang kejam dan
tak mengenal belas kasihan. Mereka melakukan pembunuhan massal di Sulawesi dan
Jawa Barat. Bagi si bocah kecil itu, semua peristiwa yang didengarnya sama
sekali tidak mengurangi kegiatan sekolahnya, mengaji atau bermain-main dengan
teman sebayanya. Sampai bulan Agustus 1948, kehidupan keluarga Djunaidi,
berjalan di antara hiruk-pikuk dan gema pertempuran, baik pertempuran melawan
pasukan Belanda, maupun pertempuran yang terjadi di kalangan para pejuang
Indonesia. Pada bulan Agustus 1948,untuk pertama kalinya diselenggarakan Pekan
Olahraga Nasional dengan pusat kegiatan di Stadion Sriwedari. Namun, pada bulan
berikutnya, di Madiun terjadi pemberontakan PKI Muso. Front Demokrasi Rakyat
melakukan penindasan, intimidasi, ancaman. “Hanya ada dua piliha: ikut Muso
dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau
ikut Soekarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara
Republik Indonesia yang merdeka tidak dijajah oleh Negara mana pun”.
Begitulah, dalam kebingungan, rakyat dibuat cemas dan takut karena PKI tidak
hanya melakukan ancaman dan teror, tetapi juga penculikan dan pembunuhan.
“Ponorogo diserbu batalyon Sobirin Muchtar, batalyon Sabaruddin menuju Dungus
ke arah Madiun, Gubernur Militer, Kolonel Gatot Subroto, memerintahkan pasukan
Siliwangi menghantam dari arah barat, batalyon Kosasih menuju Pati, batalyon
Daeng bergerak ke Cepu dan Blora, batalyon Darsono dan batalyon Lucas langsung
bergerak menuju jantungnya, Madiun”. Pemberontakan PKI akhirnya
berhasil ditumpas. Amir Syarifuddin tertangkap di Pati, kemudian dibawa ke
Yogyakarta untuk diadili. Pemberontakan itu makin membuat rakyat sengsara. Tiga
tahun lamanya keluarga Djunaidi ikut menjadi saksi sejarah, betapa masa awal
kemerdekaan negeri dilanda berbagai tantangan dan cobaan berat. “Saya lihat
sendiri, pembunuhan di mana-mana". Demikian keterangan Sersan Husni
yang ikut menumpas kekejaman para pemberontak PKI. Desember 1948, Belanda
menjarah Yogyakarta. Bung Karno dan Bung Hatta tertangkap. Semua sekolah tutup.
“Sekolahku sendiri, bukan sekadar tutup, melainkan runtuh berkeping-keping
akibat bumi hangus".
Demikian pengakuan anak Muhammad Djunaidi yang
tak tahu harus berbuat apa karena kantor induknya di Yogya sekarang sudah
dikuasai Belanda. Pada saat seperti itu, tiba-tiba saja datang surat dari paman
Pak Djunaidi, asisten wedana, yang tinggal di Jakarta. Asisten Wedana yang
pro-Belanda itu, menyuruh agar Pak Djunaidi kembali ke Jakarta karena jawatan
sosial akan mengurus segala sesuatunya. Sementara itu, di forum internasional,
penangkapan Soekarno-Hatta, telah mendatangkan reaksi hebat berbagai Negara.
Belanda dikecam habis-habisan. Hampir semua Negara mendesak agar kedaulatan Republik
Indonesia dipulihkan. Keluarga Pak Djunaidi yang mendengar perkembangan
terakhir mengenai keadaan negerinya, merasa sangat gembira, terlebih lagi ia
sudah merencanakan untuk pulang kembali ke Jakarta. Di Jakarta, si bocah anak
Muhammad Djunaidi, kembali masuk sekolah menengah pertama yang disebut sekolah
“Republik”. “Tanpa sebuah tiang bendera, sekolah “Republik” itu tak ubahnya
sebuah kandang ayam yang teramat besar. Seanteronya berlantai tanah, baik
pekarangan maupun ruang kelas. Berdinding bilik, beratap daun nipah. Kakus
numpang di rumah tetangga terdekat”.
Tidak berapa lama kemudian,
kakek si bocah menyusul datang ke Jakarta setelah melakukan pengungsian
panjang, nyaris menyusuri sepanjang daerah selatan Jawa Barat. Kemudian, si
kakek Muhammad Alwi datang bersama istri keduanya yang dikawininya di
pengungsian. Istri pertamanya sendiri meninggal sebelum ia ikut mengungsi.
Dalam pengungsian juga Muhammad alwi dirawat oleh Sersan Husni. Namun, Sersan
Husni yang berniat menikah jika perang telah selesai, gugur diberondong peluru
gerombolan DI/TII dalam perjalanan pulang ke Bandung. Sersan Husni selamat dari
peluru Belanda, tetapi harus tewas di tangan bangsanya sendiri. Selepas
ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar, keadaan nasib para pegawai negeri,
termasuk Muhammad Djunaidi, mulai terlihat tanda-tanda membaik. Namun, keadaan
itu tidak diikuti oleh keadaan kesehatan istrinya, ibu si bocah. Dalam usia
yang belum begitu tua, 34 tahun, sakit parah wanita itu telah mengantarkannya
ke pemakaman. Ia meninggalkan suami yang mengabdi kepada keluarga sebagai
tanggung jawabnya, dan setia pada pekerjaannya sebagai pengabdiannya. Si bocah
yang ditinggalkan ibunya, masih juga belum mengerti, mengapa nasib manusia tak
dapat diduga. Hanya ia merasa, kini ia tidak lagi bocah. “Ingat, kau sekarang
bukan anak-anak lagi.” Demikian pesan ayahnya. Pada saat itu, Agustus 1950,
“Bendera Republik Kesatuan bersorak-sorak di tiangnya yang tinggi”
Novel ini mengambil sudut pandang Si Bocah, seorang
anak yang masuk ke usia remaja memandang suasana negerinya dengan sudut
pandangnya sendiri sehingga peristiwa pertumpahan darah tidak mengudarkan
mengerikan, namun justru menggelikan. Di samping itu, novel ini terkesan
menyindir tokoh politik saat itu yang lebih suka berdebat satu dengan yang lain
dari pada memikirkan urusan bangsa dan negaranya.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar